
Yuk Jadi Guru Fleksibel!
Oleh Elmiani S.Pd
Kerap kita temui dalam dunia pendidikan, model guru yang pembawaannya kaku ketika dihadapkan dengan hal baru bahkan terjadi pada diri kita sendiri. Seperti halnya selama masa pandemi covid, di mana pembelajaran tatap muka tiba-tiba beralih menjadi pembelajaran online.
Tentunya, sebagian besar guru bahkan peserta didik pun merasa canggung dan belum terbiasa melakukannya. “Maaf saya tidak bisa mengajar online, saya maunya tatap muka saja biar anak-anak lebih paham.” Ungkapan ini menjadi salah satu alasan beberapa guru menolak mengajar secara online.

Alasan lain yang juga sering terdengar yaitu ketika harus menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) sementara buku materi (buku cetak) terbatas atau bahkan tidak ada. Contoh kasus, pada jenjang SLB di mana ada beberapa ketunaan di dalamnya, namun biasanya buku materi tidak lengkap untuk ketunaan tertentu, misalnya kelas 12 tunarungu yang tidak ada sama sekali buku cetak. Nah, hal tersebut kerap menjadi alasan guru enggan menyusun RPP karena tidak ada buku pendukung. Padahal kita bisa saja menggunakan buku tunagrahita pada kelas yang sama kemudian menyesuaikan materinya dengan kemampuan peserta didik yang kita ajar setiap hari.
Terlebih lagi ketika model RPP berubah, banyak guru mengeluh “Saya tidak bisa mengikuti format RPP yang baru karena susah. Saya pake format lama saja.”
Rekan – rekan guru, tanpa kita sadari sering kita berkomentar seperti di atas. Karena merasa lebih nyaman dengan kondisi saat sebelum pandemi, sehingga sulit untuk mengubah keadaan atau mencoba hal baru pada masa pandemi. Padahal bisa jadi perubahan itu berdampak baik bagi kita.
Contoh kecil, saat kita dituntut untuk mengajar secara daring via Zoom atau Google Class, pasti awalnya kita ada yang menolak karena tidak paham, takut salah, takut ditertawakan dan sebagainya. Namun, ketika hati kita termotivasi untuk mau belajar, maka sudah pasti ada rasa bangga, puas pada diri sendiri karena akhirnya kita tidak lagi dianggap gaptek atau ketinggalan jaman.
Rekan – rekan, kita adalah agen perubahan. Kita menginginkan anak didik kita berubah, dari yang tidak baik akhlaknya menjadi baik, dari yang tidak tahu huruf dan angka menjadi tahu, dari yang tidak bisa merawat diri sendiri menjadi bisa.
Bagaimana kita bisa mewujudkan perubahan itu kalau kita saja anti terhadap perubahan? Yuk, jadi guru yang fleksibel agar anak didik dan rekan kerja tidak sebel. Fleksibel bukan berarti tidak punya pendirian, fleksibel bukan berarti tidak punya prinsip. Tetapi fleksibel artinya mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi apapun.
Bagaimana menjadi guru fleksibel?
Awali dengan Prasangka Baik Jangan beranggapan bahwa anak yang memiliki ketunaan itu tidak bisa apa-apa sehingga tidak perlu sekolah. Kita tidak bisa mengubah mereka menjadi normal, namun kita bisa merubah perilaku mereka tentunya dengan berbagai metode dan pendekatan.
Jadi, sebagai guru kita harus siap dengan setiap situasi dan kondisi, cepat beradaptasi agar mampu menjadi guru yang menginspirasi.
Penulis
